Kang Adin ditimbali Abah
” serentak aku terbangun, seakan aku baru bangun dari tidur yang lama, mata terbelalak kearah jam dinding, tersenyum aku dalam sadarku
“, ya Alloh sudah jam 8 siang”, aku beranjak dari tempat
tidurku, tak pikir lama-lama aku bergegas menuju ndalem Abah. di ndalem Abah
aku disuruh memijat badan beliau Abah Yai, dengan rasa ta’dzim
dan penuh keiklasan aku kerjakan apa yang diperintahkan Abah yaitu memijat
badannya,
“ Din,
kalau semisal aku tertidur, kamu tinggal saja “. Seru Abah.
aku bergegas mendekat Abah, dan memulai
memijit Abah. Waktu terasa begitu lama, tapi aku tetap saja memijit badan Abah,
hingga Abah tertidur lelap dalam pijitanku. Seperti apa yang dikatakan Abah,
setelah Abah tertidur dalam pijitanku, Aku pelan-pelan keluar dari ndalem Abah
dan bergegas menuju kekamar.
***
Siangpun meredup seakan
merunduk malu pada malam, seperti biasanya aku mengaji kitab, walau kelasku
tingkatannya paling rendah di pondok, yaitu kelas idady, tapi aku tetap
semangat menimba ilmu dipondok ini, setelah ngaji kitab, aku memulai
kebiasaanku yaitu membaca Al-Quran hingga awal adzan subuh, ku gelar sajadahku,
untuk menunaikan ibadah sholat subuh, selesai sholat aku lanjutkan berdzikir
hingga kantuk membunuhku,esok harinya aku terbangun agak siang sekitar jam sepuluh,mungkinkarenaakutidaktidurmalamharinya, hari ini berbeda dengan hari biasanya, aku tidak disuruh Abah
untuk memijit, situasi ini tidak aku sia-siakan, aku lakukan aktifitasku
menghafal bait-bait jurmiyah jawan, mungkin karena memang bait-bait jurmiyah
jawan diwajibkan untuk dihafal oleh setiap santri, khususnya kelas idady, ku
gelar sajadahku di depan pintu masjid, tepatnya menghadap taman masjid, ku buka
kitabnya, dan mulai ku lantunkan bait-baitnya, tak selang lama aku menghafal
bait jurmiyah jawan, datang sebuah mobil
Mitsubitsi berwarna putih, berplatkan AB,
masuk diparkiran pondok, tapi hal ini sudah biasa, karena mungkin itu mobil
walisantri yang mau menjenguk anaknya atau santri yang datang dari rumahnya,
tak selang lama pintu mobilnya terbuka, sesosok gadis seumuranku turun dari mobil,
dan ternyata itu “ Ning Alif ”,yang mondok di Kudus untuk mendalami Al-Quran, tak
sadar mata ini terbelalak tak berani menatap sorotan mata yang tajam bagai
pisau.
***
Aku jalani hariku seperti
biasanya, tepatnya jam delapan siang disaat aku menghafal bait-bait jurmiyah
jawan, tiba-tiba lantunanku tersendat terhenti tatkala langkah lembut
menghampiriku diserambi masjid tempat yang sering aku
gunakan untuk menghafal bait jurmiyah jawan, yang ternyata Ning Alif bersama
Gus Izudin yang masih berumur sekiter lima tahunan, Ning Alif menuntun Gus Izudin mengitari Pondok, pas
didepanku duduk, Nig Alif tersenyum
manis didepanku, tiba-tiba aku dikagetkan oleh Kang Akhmad teman sekamarku,
“ kang ditimbali Abah “.
“ nggih “
sambil
bergegas menuju ndalem Abah, seperti biasanya aku disuruh memijit, akupun tak
pernah menolak, karena mungkin ini awal untuk mendapatkan barokah ilmu Abah.
***
Hari pun berganti, seperti biasanya aku duduk diserambi masjid,
tapi kali ini bukan untuk menghafal bait
jurmiyah jawan melainkan untuk memikirkan wanita bermata pisau, yang kini
sering menghantui aktifitasku, dan otakpun serentak berfikir bagai mana cara memiliki hati wanita
tersebut, Ning Alif….., sayang dia adalah anak dari Abah yai, orang yang sangat
ku segani di Pondok ini. Aku bertekad akan mengutarakan isi hatiku pada Abah tentang
Ning Alif. Aku ketuk pintu ndalem abah yang terbuat dari kayu jati sehingga terdengar
keras, tak lama Ning Alif membukakan pintu, seperti apa yang aku harapkan senyumannya
nampak lagi, apakah ini bertanda dia juga memiliki perasaan yang sama seperti diriku,
” Ning, Abah dimana ? “
“ itu kang di tempat peristirahatan tamu, mau mijit abah lagi yah..”
seru Ning Alif dengan senyuman khasnya.
“ nggih Ning, permisi…” jawabku dengan nada
terbata-bata. Disela pijitanku, aku memberanikan diriku mengutarakan perasaanku pada Abah,
“ Bah semisal aku selesai menimba ilmu disini, bolehkah aku memiliki bunga Abah yang sangat Abah sayangi “
Aku utarakan perasaan ini dengan rasa sangat takut, takut kalau Abah marah padaku, tiba-tiba Abah tersenyum seakan tahu apa yang aku maksud,
“ya, Abah akan sangat senang sekali dan meridhoimu dalam hal menimba ilmu disini dan perkara lain yang berguna untuk kehidupanmu kelak ”
Dengan wajah sumirat dan senyum lebar aku berterimakasih pada Abah
“ matur nuwun Bah “
“ ya,,ayuk dilanjutkan dulu cung, pijitannya ” sahut Abah
Aku melanjutkannya hingga Abah tertidur dalam pijitanku.
***
Waktu berjalan dengan
sendirinya, bagai roda yang terus berputar, hari yang aku nantikan sudah hampir
selesai menimba ilmu di Pondok ini tepatnya dikelas tahtim, ku tagih janjiku pada
Abah, akan memiliki bunga yang sangat Abah sayangi, Abah pun menepati janjinya,
tapi ternyata tidak seperti apa yang aku impikan selama ini, tak aku sangka kalau
Abah akan menikahkanku dengan santri kesayangannya Abah, bukan dengan Ning Alif,
seperti apa yang aku harapkan. Aku menghela nafas panjang kumenahan ledakan tangis,
tak aku sangka penafsiranku selama ini salah, akan Abah, bukan Ning yang aku dapatkan
melainkan santri kesayangan Abah, dan jawaban
ini membuat aku sadar bahwa Ning hanya cocok untuk Gus. Hemm…..selama ini aku hanya mimpi untuk memperolehnya. bagai Pungguk merindukan rembulan...
Namun tak surut semangatku, tak rapuh hatiku. dengan berusaha tegar
ditengah perihnyu luka, hati ini masih mampu optimis dan berhusnudhon kepada
Allah, dengan penuh keyakinan aku mantabkan hati ini untuk menerima bunga
pemberian Abah itu, yakin dalam hati bahwa keputusanku ini yang terbaik, karena
pastinya inilah jalan yang terbaik yang Allah berikan kepadaku.