SELAMAT BERKUNJUNG DIBLOK INI

Loading...
Wednesday, September 24, 2014

Sejarah Dan Penamaan Ilmu Nahwu, pengarang dan perkembangannya.



Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi. Lalu, bagaimana sejarah awal mula terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah nahwu ?. Simak penjelasan berikut ini.
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang.
 Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib r.a
Ketika Abul Aswad Ad-Duali sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak menengadahkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang.Lalu ia berkata, مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrohkan hamzah, yaitu menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ . “Wahai anakku, Bintang-bintangnya ?”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…
Abul Aswad Ad-Duali ketika melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan tata Bahasa Arab ini menghilang, padahal peristiwa tersebut terjadi pada zaman Sahabat Nabi s.a.w.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.
Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka memperbaharui pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah singkat awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 
Aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah).
Setelah tersusunnya ilmu gramatikal bahasa arab dan banyaknya para ulama yang telah memperjelas ilmu tersebut.
 Hal ini mengakibatkan timbulnya aliran-aliran dalam ilmu nahwu, yang disebabkan adanya khilaf dikalangan para ulama nahwu dalam menentukan posisi (mahal) kata dalam suatu kalimat.
 Beda persepsi ini, tidak luput dari pengaruh daerah para ulama tersebut menetap. Diantara aliran-aliran ilmu nahwu (Madaaris an-Nahwiyah) tersebut: aliran (madrasah) Al-Basrah, Kufah, Baghdad, Andalus dan Mesir. Namun, aliran (madrasah) yang paling terkenal dalam kitab-kitab nahwu hanya dua, Basrah dan Kufah.
Aliran (Madrasah) Basrah.
Aliran (Madrasah) ini berkembang pesat hingga terkenal di kalangan para ulama nahwu (Nahwiyyiin), dikarenakan begitu semangat dan gigihnya para pelajar (tholib) dalam mempelajari ilmu nahwu yang langsung diajar oleh penyusun kitab nahwu pertama kali, Abu Aswad ad-Dhuali.
 Sebab utama begitu semangatnya mereka dalam mendalami ilmu nahwu adalah ketika Negeri Basrah telah bercampur penduduknya antara pribumi (baca; warga Basrah) dengan non pribumi (azam) yang hidup layaknya seperti penduduk asli.
 Bahasa arab merupakan bahasa resmi negara pada waktu itu, namun karena adanya percampuran non pribumi dalam negeri itu yang secara otomatis mengakibatkan adanya kerusakan dalam susunan tata bahasa arab. Imam Sibawaihi merupakan salah satu produk aliran (madrasah) Basrah, yang telah mengarang buku nahwu yang berjudul "al-Kitab".
 Diantara ciri khas aliran (madrasah) Basrah adalah selalu berpegang pada pendapat jumhur bahasa (lughoh) bila terdapat khilaf. Jika terdapat yang menyalahi jumhur yang  mereka takwilkan  atau menggolongkannya sebagai kelompok yang ganjil (syadz), dan aliran (madrasah) ini selalu menggunakan sima'i dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa arab.
Aliran (Madrasah) Kufah.
Negeri Kufah terkenal sebagai Negerinya para Muhadditsin, Penyair dan Qira ah. Sehingga terdapat di dalamnya tiga ulama yang masyhur dalam qira ah seperti kisai, Ashim Bin Abi Al-Nujud dan Hamzah. Kisaai termasuk pendiri aliran (Madrasah) Kufah. Penadapatnya terhadap suatu masalah dalam gramatikal bahasa arab selalu menjadi acuan, baik pengikutnya maupun yang lainnya.
 Ciri khas aliran (madrsah) ini, lebih sering menggunakan qiyas dalam memecahkan suatu masalah yang berkaitan dengan gramatikal bahasa  arab. Jadi, begitu indahnya bahasa arab memiliki pemerhati bahasa yang mampu menjaga estetika bahasa itu sendiri. 
                                                                        copyright document tesis

 
TOP

TERIMA KASIH BERKUNJUNG DIBLOK INI