A.Pendahuluan
Antropologi kebudayaan atau lebih sering kita dengar sebagai antropologi budaya (terjemahan dari Cultural Anthropogy), merupakan salah satu cabang dari studi antropologi yang mengambil kebudayaan sebagai objek studinya. Ilmu Antropologi, tidak seperti beberapa ilmu lain (misalnya, geografi) mempunyai kejelasan posisi dalam dikotomi bidang-bidang ilmu pengetahuan, apakah termasuk bidang eksakta atau noneksata, ilmu pengetahuan alam atau sosial. Ilmu Antropologi adalah salah satu ilmu yang termasuk ke dalam kategori ilmu sosial.
Antropologi kebudayaan atau lebih sering kita dengar sebagai antropologi budaya (terjemahan dari Cultural Anthropogy), merupakan salah satu cabang dari studi antropologi yang mengambil kebudayaan sebagai objek studinya. Ilmu Antropologi, tidak seperti beberapa ilmu lain (misalnya, geografi) mempunyai kejelasan posisi dalam dikotomi bidang-bidang ilmu pengetahuan, apakah termasuk bidang eksakta atau noneksata, ilmu pengetahuan alam atau sosial. Ilmu Antropologi adalah salah satu ilmu yang termasuk ke dalam kategori ilmu sosial.
Secara garis besar ilmu antroplogi dapat dipilah menjadi dua bahagian, yaitu antropologi biologi dan antropologi budaya.
Antropologi biologi merupakan kelompok studi
antropologi yang mempelajari manusia beserta proses biologis yang menyertainya
sehingga terjadinya aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri
tubuhnya. Ilmu ini meliputi ilmu paleoantropologi dan antropologi fisik. Ilmu
pengetahuan penunjang dalam antropologi biologi meliputi kedokteran, arkeologi,
biologi, dan sebagainya.
Antropologi budaya merupakan studi antropologi
yang bidang studinya mengambil kebudayaan sebagai objeknya. Aspek-aspeknya
antara lain meliputi masalah sejarah asal, perkembangan, dan penyebaran aneka
warna bahasa yang diucapkan manusia di seluruh dunia; masalah perkembangan,
penyebaran dan terjadinya aneka warna kebudayaan di seluruh dunia; dan masalah
azas-azas dari kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dari semua suku
bangsa yang tersebar di seluruh muka bumi (Koentjaraningrat, 1990: 25).
Sesuai dengan aspek-aspek yang dipelajari
terdapat cabang antropologi budaya, yaitu prehistori, etnolinguistik, etnologi
(Descriptive integration/etnology dan generalizing aproach/social
anthropology), etnopsikologi, antropologi spesialisasi (antropologi ekonomi,
antropologi politik, antropologi kependudukan, antropologi kesehatan,
antropologi kesehatan jiwa, antropologi pendidikan, antropologi perkotaan dan
antropologi perdesaan), dan antropologi terapan. Selain itu ada pula dua aspek
lain yang menjadi kajian ilmu antropologi, selain kajian antroplogi budaya,
yaitu masalah sejarah asal dan perkembangan manusia (atau evolusinya) secara
biologi (termasuk dalam studi paleoantropologi); dan masalah sejarah terjadinya
aneka warna makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya
(antropologi fisik). Kedua aspek ini dicakup dalam studi Antropologi Fisik
dalam arti luas.
Saat ini, ilmu antropologi budaya mempunyai peranan penting dalam pembangunan bangsa di Indonesia dan telah cukup mendapat perhatian oleh pemerintah. Hal ini tampak dengan adanya pengembangan ilmu ini di beberapa universitas negeri, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Sumatra Utara, Universitas Andalas, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Cendrawasih.
B. Konsep Antropologi
B.1. Batasan Antropologi
Batasan, yang lebih sering disebut dengan
definisi dapat dipandang sebagai kristal dari lingkup bidang studi yang
menyangkut isi yang dipelajari dari bidang ilmu pengetahuan bersangkutan (Suhardjo,
1998: 2). Sebelum sampai pada batasan kiranya perlu dipahami terlebih dahulu
atau pengertian konsep mengenai ilmu pengetahuan yang akan dipelajari.
Pada waktu yang lampau orang yang masih awam dalam ilmu antropologi mempunyai pandangan yang keliru mengenai isi dan materi yang dipelajari dalam studi antroplogi. Anggapan itu tidak salah karena sejarah perkembangan ilmu antropologi dibagi beberapa tahap.
Pada waktu yang lampau orang yang masih awam dalam ilmu antropologi mempunyai pandangan yang keliru mengenai isi dan materi yang dipelajari dalam studi antroplogi. Anggapan itu tidak salah karena sejarah perkembangan ilmu antropologi dibagi beberapa tahap.
1.
Tahap pertama, antropologi muncul ketika orang
pribumi di Asia, Afrika dan Amerika didatangi oleh orang Eropa. Orang Eropa
tertarik kepada orang pribumi karena kebudayaan orang Eropa sangat berbeda
dengan kebudayaan orang pribumi.
2.
Tahap
kedua, antropopologi telah berkembang dengan tujuan utama untuk mempelajari
masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu
pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah dan evolusi dan sejarah
penyebaran kebudayaan manusia.
3.
Tahap
ketiga, pada fase perkembangan ketiga ini, antroplogi menjadi suatu ilmu yang
praktis, dengan tujuannya adalah mempelajari masyarakat dan kebudayaan
suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan kolonial dan guna mendapat
suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
4.
Tahap keempat, antropologi mengalami masa
perkembangan yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan
yang jauh lebih teliti maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya.
Pada masa perkembangan ini, antropologi mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan
akademis dan tujuan praktis. Tujuan akademis dari ilmu ini adalah mencapai
pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna
bentuk fisiknya, masyarakat serta kebudayaan, sedang tujuan praktis dari ilmu
antropologi adalah mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa
guna membangun masyarakat suku bangsa itu.
Dari
tahap-tahap perkembangan ilmu antropologi tampak bahwa sebagaimana halnya
dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain ilmu pengetahuan antroplogi pun terus
mengalami perkembangan. Pada tahap awal sejarah perkembangannya, antropologi hanya
bersifat deskripsi; kemudian dalam perkembangannya bahasan/ulasan antropologi
disertai penjelasan atas dasar analisis dari interaksi antara manusia dengan
kebudayaannya. Di samping itu, antropologi mempunyai perhatian utama adanya
perbedaan dan persamaan (keanekawarnaan) berbagai manusia (ras) dan budaya di
muka bumi.
B.2. Ruang lingkup dan
Ilmu Penunjang Antropologi
Ruang
lingkup pelajaran antropologi meliputi semua manusia dan gejala kebudayaan,
termasuk proses yang mengakibatkan timbulnya fenomena dan berbagai bentuk
persamaan dan perbedaan (keanekawarnaan). Berhubung lingkup pelajaran antropologi
meliputi fenomena biologis (manusia) dan sosial, maka ilmu-ilmu penunjang
antropologi meliputi ilmu-ilmu pengetahuan alam dan kelompok ilmu pengetahuan
sosial. Koentjaraningrat (1990: 31) mencantumkan 13 ilmu pengetahuan yang
pokok, terdiri dari 5 ilmu pengetahuan alam, 1 ilmu pengetahuan gabungan
(sintesa), 7 ilmu sosial. Ketigabelas ilmu penunjang antropologi adalah ilmu
geologi, paleontologi, anatomi, kesehatan masyarakat, psikiatri (kesemuanya
ilmu pengetahuan alam), geografi (ilmu sintesa), arkeologi, sejarah, ekonomi,
hukum adat, administrasi, dan ilmu politik (kesemuanya ilmu pengetahuan
sosial).
B. 3. Objek Studi dan Pengamatan Antropologi
Objek studi antropologi dapat dipilah menjadi dua, yaitu objek material
dan objek formal.
·
Objek material adalah sasaran yang menjadi
perhatian dalam penyelidikan. Mengingat lingkup pelajaran antropologi manusia
dan budaya, maka sasaran penyelidikan sebagai objek material sangat luas.
Sasaran penyelidikan yang banyak tersebut pada umumnya juga menjadi sasaran
penyelidikan ilmu pengetahuan sosial lainnya; maka objek formallah yang
membedakan ciri ilmu pengetahuan antropologi dengan yang lain.
·
Yang dimaksud objek formal adalah cara
pendekatan dalam penyelidikan terhadap objek yang sedang menjadi pusat
perhatiannya.
Ada tiga cara
pendekatan dalam ilmu antropologi, yaitu
a.
pertama, pengumpulan fakta. Dalam pengumpulan
fakta di sini terdiri dari berbagai metode observasi, mencatat, mengolah dan
melukiskan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat hidup. Sedangkan
metode-metode pengumpulan fakta dalam ilmu ini adalah penelitian di lapangan
(utama), dan penelitian perpustakaan.
b.
Kedua, penentuan ciri-ciri umum dan sistem.
Hal ini adalah tingkat dalam cara berpikir ilmiah yang bertujuan untuk
menentukan ciri-ciri umum dan sistem dalam himpunan fakta yang dikumpulkan
dalam suatu penelitian. Adapun ilmu antropologi
yang bekerja dengan bahan berupa fakta-fakta yang berasal dari
sebanyak mungkin macam masyarakat dan kebudayaan dari seluruh dunia, dalam hal
mencari ciri-ciri umum di antara aneka warna fakta masyarakat itu harus
mempergunakan berbagai metode membandingkan atau metode komparatif. Adapun metode
komparatif itu biasanya dimulai dengan metode klasifikasi.
c.
Ketiga, verifikasi. Dalam kaitan ini, ilmu
antropologi menggunakan metode verifikasi yang bersifat kualitatif. Dengan
mempergunakan metode kualitatif, ilmu ini mencoba memperkuat pengertiannya
dengan menerapkan pengertian itu dalam kenyataan beberapa masyarakat yang
hidup, tetapi dengan cara mengkhusus dan mendalam.
B. 4. Beberapa Pengertian Penting dalam Antropologi
B.4. a. Holististik
Sebuah pendekatan dalam antropologi yang melihat keadaan-keadaan
dan individu-individu secara utuh. Jadi, pokok kajiannya, baik sebuah
organisasi atau individu, tidak akan diredusir (disederhanakan) kepada variabel
yang telah ditata atau sebuah hipotesa yang telah direncanakan sebelumnya,
tetapi akan dilihat sebagai bagian dari suatu yang utuh.
B.4.b. Kualitatif
B.4.b. Kualitatif
Menurut Bogdan dan Tylor (1993: 30), metode kualitatif menunjuk
kepada prosedur-prosedur riset yang menghasilkan data kualitatif, yaitu
ungkapan atau catatan orang itu sendiri atau tingkah laku mereka yang
terobservasi. Pendekatan-pendekatan ini mengarah kepada keadaan-keadaan dan
individu-individu secara holistik (utuh). Jadi, pokok kajiannya, baik sebuah
organisasi atau individu, tidak akan diredusir (disederhanakan) kepada variabel
yang telah ditata atau sebuah hipotesa yang telah direncanakan sebelumnya, akan
tetapi akan dilihat sebagai bagian dari suatu yang utuh.
Metode kualitatif memungkinkan kita memahami
masyarakat secara personal dan memandang mereka sebagaimana mereka sendiri
mengungkapkan pandangan dunianya. Kita menangkap pengalaman-pengalaman mereka
dalam perjuangan mereka seharihari di dalam masyarakat mereka. Kita mengkaji
tentang kelompok dan pengalaman-pengalaman yang sama sekali belum kita ketahui.
Akhirnya, metode kualitatif memungkinkan kita membuat dan menyusun
konsep-konsep yang hakiki, dan ini tidak ditemukan dalam metode lainnya (metode
kuantitatif). Konsep-konsep seperti indah, menderita, keyakinan, frustasi,
harapan, cinta dapat dikaji karena memang ada definisinya dan juga dialami oleh
masyarakat secara real dalam kehidupan mereka.
B.4.c. Studi Kasus
Dalam penelitian antropologis, kita sering menjumpai kata-kata
studi kasus. Menurut Black dan Champion (1976) studi kasus merupakan penelitian
terhadap kesatuan sosial yang dipilih sebagai bahan kajian terhadap kesatuan
yang lebih luas, tetapi hubungan antara kesatuan itu tidak dapat diperkirakan
secara pasti. Artinya, bahwa hasil penelitian ini belum dapat dijadikan patokan
untuk menarik kesimpulan umum (yang lebih luas) (Wibowo, 1994: 28-29).
Sebagai suatu penelitian sosial, kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tadi tentu saja terbatas pada kesatuan yang diteliti. Pada lingkup yang lebih luas, kesimpulan yang dihasilkannya hanya berlaku sebagai proposisi hipotesis. Meskipun demikian, hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki arti penting dan berguna dalam tujuan studi. Menurut Marzali (1980) studi kasus bukanlah suatu teknik penelitian, tetapi suatu pendekatan, suatu cara agar dapat diperoleh suatu sifat yang utuh (unitary character) dari objek yang dikaji.
B. 4.d. Observasi Partisipasi
Sebagai suatu penelitian sosial, kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tadi tentu saja terbatas pada kesatuan yang diteliti. Pada lingkup yang lebih luas, kesimpulan yang dihasilkannya hanya berlaku sebagai proposisi hipotesis. Meskipun demikian, hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan memiliki arti penting dan berguna dalam tujuan studi. Menurut Marzali (1980) studi kasus bukanlah suatu teknik penelitian, tetapi suatu pendekatan, suatu cara agar dapat diperoleh suatu sifat yang utuh (unitary character) dari objek yang dikaji.
B. 4.d. Observasi Partisipasi
Ungkapan Observasi partisipasi tidak memperoleh batasan yang
jelas dalam ilmu sosial. Di sini, observasi partisipasi dipakai untuk menunjuk
kepada penelitian yang dicirikan adanya interaksi sosial yang intensif antara sang
peneliti dengan masyarakat yang diteliti di dalam sebuah miliu masyarakat yang
diteliti. Selama periode tadi, data yang diperoleh dikumpulkan secara
sistematis dan hati-hati.
Sang peneliti menceburkan diri dalam kehidupan masyarakat dan
situasi di mana mereka mengadakan penelitian. Para peneliti berbicara dengan
bahasa mereka, bergurau, menyatu dan sama-sama terlibat dalam pengalaman yang
sama. Hubungan yang demikian lama memungkinkan para peneliti untuk melihat
adanya dinamika-dinamika dalam bentuk konflik dan perubahan sehingga memandang
definisi-definsi tentang organisasi-organisasi, hubungan-hubungan, kelompok dan
invidu ada dalam sebuah proses. Mereka memperoleh hal-hal yang menguntungkan
secara khas jika dibanding dengan para pemakai metodologi lainnya.
C. KONSEP KEBUDAYAAN
C.1. Batasan Kebudayaan
Imu antropologi yang mempunyai perhatian
terhadap cara hidup manusia dengan berbagai macam sistem tindakan, maka dalam
memberi batasan tentang konsep kebudayaan1 atau culture, ilmu ini amat berbeda
dengan ilmu yang lain. Juga apabila dibandingkan dengan arti yang biasanya
diebrikan kepada konsep itu dalam sehari-hari, yaitu arti yang terbatas kepada
hal-hal yang indah seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni suara,
kesusastraan dan filsafat, definisi ilmu antrologi jauh lbih luas sifat dan
ruang lingkupnya.
Menurut
ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar (Koetjaraningrat, 1990: 180).
Kenyataannya,
definisi yang menganggap bahwa “kebudayaan” dan “tindakan kebudayaan” itu adalah
gejala yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior),
juga diajukan oleh beberapa ahli antropologi terkenal seperti C. Wissler, C.
Kluckhon, A. Davis, atau Hoebel.
C.2. Unsur-unsur Kebudayaan
Para sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan
sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi, pada waktu analisa akan membagi
keseluruhan itu kedalam unsur-unsur besar yang disebut unsur-unsur kebudayaan
universal atau cultural universal. 2 Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap kebudayaan
dari suatu bangsa atau masyarakat terbagi lagi menjadi sejumlah unsur, baik
unsur besar maupun unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang
bersifat kesatuan. Sejumlah unsur tadi yang disebut sebagai unsur-unsur pokok
kebudayaan, atau dapat disebut kebudayaan semesta. Apa yang dimaksud dengan
kebudayaan universal adalah bahwa unsur-unsur kebudayaan itu dapat dijumpai
pada setiap kebudayaan dimanapun juga. Ada tujuh unsur yang dapat ditemukan
pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi
pokok dari tiap-tiap kebudayaan di dunia itu adalah:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
5. Sistem mata pencaharian hidup
6. Sistem Religi
7. Kesenian
Bagan Pemerincian
Kebudayaan
Tiap-tiap unsur
kebudayaan universal sudah tentu saja juga menjelma dalam tiga wujud kebudayaan
terurai, yaitu wujudnya yang berupa sistem budaya, yang berupa sistem sosial
dan yang berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian, sistem ekonomi
misalnya, mempunyai wujud sebagai konsep-konsep, rencana-rencana,
kebijaksanaan, adat-istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai
juga wujudnya yang berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara
produsen, tengkulak, pedagang, ahli transport. pengecer dengan konsumen, serta
kecuali itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa
peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi.
Jadi, unsur-unsur pokok kebudayaan itu meliputi wacana yang luas
sehingga untuk keperluan analisis perlu ada sistematika yang berbentuk hirarki.
C. 3. Sistem Kebudayaan
Dari bagian di atas telah disebutkan bahwa unsur-unsur
kebudayaan itu mempunyai wacana yang luas dan ada sistematika yang berbentuk
hirarki. Hal inilah yang akhirnya membentuk sebuah sistem kebudayaan. Dalam
Ilmu antropologi, tiap unsur kebudayaan universal dapat diperinsi ke dalam
unsur-unsurnya yang lebih kecil sampau beberapa kali. Dengan mengikuti metode
pemerincian dari seorang ahli antropologi R. Linton (Koentjaraningrat, 1990:
205), maka pemerincian itu kita lakukan sampai empat kali.3 Karena serupa
dengan kebudayaan dalam keseluruhan (kesatuan), tiap unsur kebudayaan universal
itu mempunyai tiga wujud, yaitu wujud sistem budaya, wujud sistem sosial, dan
wujud kebudayaan fisik, maka pemerincian dari tujuh unsur tadi masing-masing
harus juga dilakukan mengenai ketiga wujud tadi.
Wujud sistem budaya dari suatu unsur kebudayaan universal berupa adat, dan pada tahap pertamanya adat dapat diperinci lagi ke dalam beberapa kompleks budaya4 , tiap kompleks sosial, dan pada tahap kedua, tiap kompleks sosial dapat diperinci lebih khusus ke dalam berbagai pola sosial. Pada tahap keempat, tiap pola sosialdapat diperinci lebih khusus ke dalam berbagai tindakan.
Ketujuh unsur kebudayaan universal itu masing-masing tentu saja mempunyai wujud fisik, walaupun tidak ada satu wujud fisik untuk keseluruhan dari satu unsur kebudayaan universal. Itulah sebabnya kebudayaan fisik tidak perlu diperinci menurut keempat tahap pemerincian seperti dilakukan pada sistem budaya dan sistem sosial. Namunsemua unsur kebudayaan fisik sudah tentu secara khusus terdiri dari benda-benda kebudayaan (lebih jelasnya lihat bagan di bawah ini).
Wujud sistem budaya dari suatu unsur kebudayaan universal berupa adat, dan pada tahap pertamanya adat dapat diperinci lagi ke dalam beberapa kompleks budaya4 , tiap kompleks sosial, dan pada tahap kedua, tiap kompleks sosial dapat diperinci lebih khusus ke dalam berbagai pola sosial. Pada tahap keempat, tiap pola sosialdapat diperinci lebih khusus ke dalam berbagai tindakan.
Ketujuh unsur kebudayaan universal itu masing-masing tentu saja mempunyai wujud fisik, walaupun tidak ada satu wujud fisik untuk keseluruhan dari satu unsur kebudayaan universal. Itulah sebabnya kebudayaan fisik tidak perlu diperinci menurut keempat tahap pemerincian seperti dilakukan pada sistem budaya dan sistem sosial. Namunsemua unsur kebudayaan fisik sudah tentu secara khusus terdiri dari benda-benda kebudayaan (lebih jelasnya lihat bagan di bawah ini).
Bagan Pemerincian Unsur-unsur Kebudayaan Universal
Misalnya, unsur kebudayaan universal sistem mata pencaharian
hidup dapat diperinci ke dalam beberapa sub-unsur seperti perburuan,
perladamgan, pertanian, peternakan, perdagangan, perkebunan, industri,
kerajinan, industri jasa, industri pertambangan dan industri manufaktur. Tiap
bagian tadi mempunyai wujudnya sebagai sistem budaya yang akan kita sebut
adatnya, wujud sebagai sistem sosialnya yang akan kita sebut aktivitas
sosialnya; dan wujud fisiknya yang berupa berbagai peralatan yang tentunya
merupakan benda-benda kebudayaan. Hal serupa dapat dilakukan terhadap
unsur-unsur kebudayaan universal lainnya.
C. 4. Perubahan Kebudayaan
Pada dasarnya perubahan kebudayaan atau culture change selalu
dapat terjadi, meskipun masa perubahan itu memakan waktu beribu tahun lamanya. Sumber
penyebab perubahan dapat berasal dari dalam masyarakat itu sendiri dapat pula
berasal dari luar masyaraakt yang bersangkutan. Apabila jangka waktu proses
perubahan tersebut memakan waktu yang lama, maka proses perubahan itu diisebut
evolusi atau EVOLUSI KEBUDAYAAN. Adapun proses perubahan relatif cepat
biasanya disebabkan ditemukannya atau dikenalkannya teknologi baru. Di samping
itu, proses perubahan kebudayaan yang relatif cepat juga dapat disebabkan
karena kontak dengan masyarakat luar. Terlebih dengan adanya teknologi
informasi yang semakin canggih dapat diharapkan proses perubahan kebudayaan
akan semakin cepat. Ada empat hal yang berpengaruh terhadap proses perubahan
kebudayaan, yaitu discovery, invention, evolusi dan difui.
C.4.a Discovery
C.4.a Discovery
Suatu
discovey adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan baru, baik berupa
suatu alat yang baru, ide baru, yang diciptakan oleh seorang individu atau
suatu rangkaian dari beberapa individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Discovery menjadi
incention apabila masyarakat sudah mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan
baru itu. Proses perubahan ini sering kali memerlukan seorang individu, yaitu
si penciptanya saja, melainkan suatu rangkaian yang terdiri dari beberapa orang
pencipta.
C. 4.b. Invention
Invention
atau penemuan adalah suatu proses pembaruan dari penggunaan sumber alam,
energi, dan modal, pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan teknologi
baru yang semua akan menyebabkan adanya sistem produksi, dan dibuatnya
produk-produk yang baru. Dengan demikian, inovasi itu mengenai pembaruan kebudayaan yang
khusus mengenai unsur teknologi dan ekonomi.
C. 4. c. Evolusi
Suatu evolusi dalam kebudayaan adalah proses
perubahan setahap demi setahap yang relatif makan waktu dari barang yang pada
awalnya diciptakan manusia (invention). Pada dasarnya evolusi tersebut
dimaksudkan untuk menjadikan lebih baik, lebih canggih, dan lebih nyaman.
Sepeda, mobil, pesawat terbang, rumah, bentuk dan kondisinya sangat jauh
berbeda ketika pertama kali diciptakan. Perubahan itu tidak berlangsung cepat,
melainkan tahap demi tahap. Bagaimana pun juga evolusi membawa dampak berupa
perubahan-perubahan kebudayaan.
C. 4. d. Difusi
C. 4. d. Difusi
Bersamaan
dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia di muka bumi, turut
pula tersebar unsur-unsur kebudayaan dan sejarah dari proses penyebaran
unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia yang disebut dengan difusi atau
dalam bahasa Inggrisnya disebut diffusion. Penyebaran unsur-unsur kebudayaan
tadi dapat saja terjadi tanpa ada perpindahan kelompok-kelompok manusia atau
bangsa-bangsa dari satu tempat ke tempat lainnya, tetapi karena ada
individu-individu tertentu yang membawa unsur kebudayaan tersebut, seperti
pedagang, saudagar, pelaut dan sebagainya. Selain itu, penyebaran ini dapat terjadi
karena adanya pertemuan-pertemuan antara individu dalam suatu kelompok dengan
individu kelompok tetangga.
E. Tema Penelitian Antropologi Kebudayaan
E. Tema Penelitian Antropologi Kebudayaan
Untuk keperluan penelitian dalam studi
antropologi budaya, tujuh unsur kebudayaan universal dapat dijadikan acuan
untuk orientasi dalam memilih tema penelitian. Selanjutnya, untuk menentukan
topik-topiknya dapat dimulai dari memilih salah satu unsur pokok sebagai tema
penelitian, kemudian turun hingga culture traits bahkan dapat juga hingga ke
item. Dalam ruang lingkup penelitian antropologi kebudayaansudah tentu harus
mengikuti kaidah-kaidah antropologi.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
Bogdan, Robert dan
Steven J. Taylor 1993 Kualitatif,
Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional. Koentjaraningrat 1990 Pengantar Ilmu
Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Marzali 1980 “Metode
Penelitian Kasus”, Berita Antropologi. 11 (37). Wibowo, Agus Budi 1994 “Perubahan
Aspek-aspke Perkawinan Pada Masyarakat Pedesaan Studi Kasus di Dusun
Mojohuro, Desa Sriharjo, Kec. Imogiri Kab. Bantul'