KH. Chudlori merupakan seorang ulama yang berasal dari desa Tegalrejo.Ia bukan berasal dari keluarga kyai, tapi dari priyayi. Ayah Kyai Chudlori, adalah bapak Ihsan seorang penghulu di Tegalrejo dibawah pemerintahan Belanda. Kakeknya, Abdul Halim, juga seorang penghulu yang menangani administrasi urusan agama di daerah pedalaman kabupaten Magelang yang meliputi kecamatan Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid dan Tegalrejo.
Beliau adalah menantu dari KH.Dalhar pengasuh
Pondok Pesantren ”Darus Salam” Watucongol Muntilan Magelang. KH. Chudlori
mendirikan Pondok Pesantren di Tegalrejo pada tahun 1944. Pada mulanya pondok
pesantren ini tanpa diberikan nama sebagaimana layaknya Pondok Pesantren yang
lain. Baru setelah berkalai-kali beliau mendapatkan saran dan usulan dari rekan
seperjuangannya pada tahun 1947 di tetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam
(API). Nama ini ditentukannya sendiri yang tentunya merupakan hasil dari sholat
Istikharoh. Dengan lahirnya nama AsramaPerguruan Islam, beliau berharap agar
para santrinya kelak di masyarakat mampu dan mau menjadi guru yang mengajarkan
dan mengembangkan syariat-syariat Islam.
Keluarga KH. Chudlori, menceritakan bahwa
ketika KH. Chudlori belajar kepada Hadrotussyeh Hasyim ‘asy’ari di Tebu Ireng, ayahnya mengirim uang sebanyak
Rp. 750,perbulan, tetapi Chudlori hanya menghabiskan Rp.150,- dan mengembalikan
sisanya. KH. Chudlori hanya makan singkong dan minum air yang digunakan untuk
merebus singkong tersebut. Dia melakukan ini dalam rangka riyadlah, amalan yang
biasa dilakukan para santri.
Di dalam kamarnya di Tebu Ireng, KH. Chudlori
membuat kotak belajar khusus dari papan tipis dan menempatkan kotak tersebut
diantara loteng dan atap. Kapan saja bila ingin menghafal atau memahami
pelajarannya, KH. Chudlori naik dan duduk di atas kotak sehingga bisa
berkonsentrasi dengan baik. Kotak ini sempit, tidak nyaman dan berbahaya untuk
duduk. Dengan kedisiplinan beliau dapat belajar setiap hari hingga tengah
malam. Kapan saja tertidur sebelum tengah malam, beliau menghukum dirinya
sendiri dengan berpuasa pada hari berikutnya tanpa makan sahur. Setelah membaca
kitab Imam Al-Ghazali, beliau berusaha dengan sungguh-sungguh mempraktekkan
ajaran tasawuf. Kehidupan sehari-harinya penuh amalan tasawuf, termasuk
berbagai macam bentuk puasa, salat tengah malam, membaca Al-Qur’an dan dzikir.
Setelah dari Tebu Ireng beliau menimba ilmu di
pondok pesantren Bendo dan diteruskan di pondok pesantren Lasem. KH. Chudlori
menjalani uzlah di makam ‘keramat’ Batu Ampar, di Pulau Madura. Beliau
menghabiskan waktu hampir dua tahun untuk menjalankan praktek mistik (riyadloh)
di kuburan keramat ini. Kemudian pada
tahun 1940 akhirnya KH. Chudlori mengakhiri status lajangnya dengan
menikahi putri Kiai Dalhar pendiri pondok pesantren Watu Congol Magelang.
Sebelum membuat keputusan yang terakhir, yaitu
mendirikan sebuah pondok pesantren beliau
melakukan mujahadah setiap malam Jum’at di makan keramat Raden Santri,
yang terletak di puncak bukit Gunung Pring, agar memperoleh petunjuk spiritual
dan restu Allah. Setelah melakukan mujahadah setiap minggu selama setahun, pada
hari Jum’at dini hari, sekitar pukul 03.00 tahun 1943, ia merasa menerima
petunjuk yang jelas bahwa keinginannya direstui Allah. Malam itu, ketika
peziarah yang mengunjungi makam ‘keramat’ itu sudah pulang, Badan KH. Chudlori
gemetar dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Tapi hatinya tetap tenang.
KH. Chudlori menafsirkan kejadian ini sebagai petunjuk Tuhan bahwa niatnya
untuk mendirikan pesantren baru Tegalrejo direstui.
Setelah disampaikan kepada Kiai Dalhar maka
beliaupun merestui rencana tersebut. Pada tanggal 15 September 1944 KH.
Chudlori kembali ke desanya, Tegalrejo
dan pada hari itu juga pesantren Tegalrejo secara formal didirikan. Beberapa
keluarga Muslim di desa sekitarnya mendengar kembalinya KH. Chudlori dan
mengirimkan anak laki-laki mereka untuk menjadi santrinya. Pada awalnya ada 8
santri di Pesantren Tegalrejo. Seiring berjalannya waktu santri yang menimba
ilmu di pondok pesantren API Tegalrejo hingga kini mencapai ribuan santri.